Keanekaragaman Terumbu Karang di Pulau Pari,
Kepulauan Seribu, Jakarta Utara
Departemen Ilmu
dan Teknologi Kelautan
Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut
Pertanian Bogor
2013
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Indonesia merupakan
negara kepulauan terbesar di dunia yang 70 persen wilayahnya terdiri dari
lautan. Negara ini memiliki panjang garis pantai sebesar 81.000 km2. Indonesia memiliki potensi kekayaan alam yang besar dari
hasil perairannya, salah satunya adalah terumbu karang. Luas terumbu karang di Indonesia dengan metode
proyeksi pada tahun 2002 sekitar 50.020 km2, namun hasil terbaru
dari citra satelit menunjukkan bahwa luas terumbu karang Indonesia adalah
21.000 km2 (Thohiron, 2012). Indonesia berada di
wilayah Segitiga Karang atau Coral
Triangle yang mencakup empat dari 25 buah hotspot keanekaragaman
hayati dunia. Segitiga Karang ini memiliki luas terumbu karang lebih dari
100.000 km2, 76 persen spesies karang dunia tercakup di dalamnya.
Belum lagi potensi 45 spesies mangrove, 13 spesies lamun, dan 2.228 spesies
ikan (National Geographic, 2012).
Salah satu wilayah Indonesia yang memiliki potensi terumbu karang dan
banyak dikunjungi oleh wisatawan adalah Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Pulau Pari merupakan salah satu kelurahan di kecamatan Kepulauan Seribu Selatan
kabupaten Kepulauan Seribu provinsi DKI Jakarta. Kelurahan ini terletak di
gugusan Kepulauan Seribu. Luas Pulau Pari sekitar 94 Ha dan dengan jumlah
penduduk kurang lebih 680 jiwa. Perjalanan meuju Pulau Pari memerlukan waktu sekitar 2 jam dari Dermaga Muara Angke. Di pulau ini telah didirikan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang melakukan berbagai penelitian
demi kepentingan kelestarian alam, Pulau Pari merupakan Edu Island yaitu berwisata dengan alam sambil belajar tentang
ekosistem laut (Rittik Travel, 2012).
Pulau Pari merupakan
kelompok pulau karang yang terdiri dari lima pulau dan delapan goba serta
dikelilingi oleh rataan terumbu karang (Yusri, 2009). Pengamatan ekosistem
terumbu karang di
Pulau Pari dilakukan karena ekosistemyang terdapat di dalamnya
memiliki keanekaragaman biota laut yang tinggi.
1.2
Tujuan
Fieldtrip
Mata Kuliah Biologi Laut bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis terumbu karang
yang terdapat di perairan tersebut, dapat mengenali jenis-jenis biota laut apa
saja yang berasosiasi dengan terumbu karang, bagaimana cara mengidentifikasi
tipe terumbu karang yang terdapat pada perairan tersebut, dan mengamati kondisi
terumbu karang di perairan tersebut.
1.3
Tinjauan Pustaka
Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga
yang disebut zooxanthella (Castro P & Huber ME, 2005). Terumbu karang termasuk dalam jenis filum Cnidaria
kelas Anthozoa yang memiliki tentakel (Castro P & Huber ME, 2005). Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas
yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan
secara asal-usul, morfologi dan fisiologi (Burke IC, Laurenroth WK, 2002). Zooxanthellae merupakan jenis alga dinoflagelata berwana
coklat dan kuning, yang dinyatakan sebagai Symbiodinium microadriaticum.
Alga ini juga hidup bersimbiosis dengan hewan-hewan lain di terumbu karang,
seperti, kima raksasa (Tridacna spp), anemon laut dan coelenterata
lainnya. Sumber nutrisi utama hewan karang (hampir 98%) berasal dari hasil
fotosintesa zooxanthellae dan sisanya adalah berasal dari plankton. Selain itu,
zooxanthellae memberi warna pada hewan karang yang sebenarnya hampir
transparan. Timbal baliknya, karang menyediakan tempat tinggal dan berlindung
bagi alga (Go Blue, 2008).
Istilah terumbu karang tersusun atas dua kata, yaitu terumbu dan karang,
yang apabila berdiri sendiri akan memiliki makna yang jauh berbeda bila kedua
kata tersebut digabungkan. Istilah terumbu karang sendiri sangat jauh
berbeda dengan karang terumbu, karena yang satu mengindikasikan suatu ekosistem
dan kata lainnya merujuk pada suatu komunitas bentik atau yang hidup di dasar
substrat (Dedi S., 2007). Berikut definisi singkat dari terumbu, karang, karang
terumbu, dan terumbu karang diambil berdasarkan tempat tumbuhnya, sebagai
berikut:
a. Terumbu (Reef),
endapan masif batu kapur (limestone),
terutama kalsium karbonat (CaCO3), yang utamanya dihasilkan oleh
hewan karang dan biota-biota lain yang mensekresi kapur, seperti alga berkapur
dan moluska.
b. Karang (Coral),
disebut juga karang batu (stony coral),
yaitu hewan dari Ordo Scleractinia, yang mampu mensekresi CaCO3.
Hewan karang tunggal umumnya disebut polip. Jutaan polip-polip ini yang
membentuk struktur dasar terumbu karang.
c. Karang Terumbu, pembangun
utama struktur terumbu, biasanya disebut juga sebagai karang hermatipik (hermatypic coral). Berbeda dengan batu karang (rock), yang merupakan benda mati.
Ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil
kapur (CaCO3) khususnya jenis-jenis karang batu dan alga berkapur,
bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar lainnya seperti jenis-jenis
moluska, crustasea, echinodermata, polikhaeta, porifera, dan tunika, serta biota-biota lain yang hidup bebas di perairan
sekitarnya, termasuk jenis-jenis plankton
dan jenis-jenis nekton.
Gambar 1.
Ekosistem terumbu karang (atas), karang terumbu dan matriks terumbu (tengah),
serta insert hewan karang (bawah).
Berdasarkan kemampuan memproduksi
kapur, karang dibedakan menjadi 2 yaitu:
1.
Karang
Hermatipik
Karang hermatipik
adalah karang yang dapat membentuk terumbu dan
penyebarannya hanya ditemukan di daerah tropis. Karang hermatipik bersimbiosis
mutualisme dengan zooxanthellae. Umumnya jenis karang ini hidup di perairan pantai
/laut yang cukup dangkal, sehingga penetrasi cahaya matahari masih sampai ke
dasar perairan tersebut. Disamping itu, hewan karang memiliki toleransi suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 °C.
2.
Karang
Ahermatipik.
Karang
ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini merupakan kelompok yang tersebar
luas di seluruh dunia.
Berdasarkan letaknya (Castro P & Huber ME, 2005), terumbu karang dibedakan menjadi 4 Jenis, yaitu:
1.
Terumbu Karang
Tepi (fringing reefs)
Terumbu
karang tepi adalah jenis terumbu karang paling sederhana dan paling banyak
ditemui di pinggir pantai yang terletak di daerah tropis. Terumbu karang tepi
berkembang di mayoritas pesisir pantai dari pulau-pulau besar. Perkembangannya
bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar
menuju laut lepas. Dalam proses perkembangannya, terumbu ini berbentuk
melingkar yang ditandai dengan adanya bentukan ban atau bagian endapan karang
mati yang mengelilingi pulau. Pada pantai yang curam, pertumbuhan terumbu jelas
mengarah secara vertikal. Contoh: Bunaken (Sulawesi), Pulau Paitan
(Banten), Nusa Dua (Bali).
2.
Terumbu Karang
Penghalang (Barrier reefs)
Secara
umum, terumbu karang penghalang atau barrier reefs menyerupai terumbu
karang tepi, hanya saja jenis ini hidup lebih jauh dari pinggir pantai. Terumbu
karang ini terletak sekitar 0.52 km ke arah laut lepas dengan dibatasi oleh
perairan berkedalaman hingga 75 meter. Terkadang membentuk lagoon (kolom air) atau celah perairan yang lebarnya mencapai
puluhan kilometer. Umumnya karang penghalang tumbuh di sekitar pulau
sangat besar atau benua dan membentuk gugusan pulau karang yang
terputus-putus. Contoh: Batuan Tengah (Bintan, Kep. Riau), Spermondo (Selawesi Selatan), Kepulauan Banggai (Sulawesi Tengah).
3.
Terumbu Karang
Cincin (Atols)
Terumbu
karang cincin
atau attols merupakan terumbu karang yang
berbentuk cincin dan berukuran sangat besar menyerupai pulau. Atol
banyak ditemukan pada daerah tropis di
Samudera Atlantik. Terumbu karang
yang berbentuk cincin yang mengelilingi batas dari pulau-pulau vulkanik
yang tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan
dengan daratan.
Gambar 2. Tipe-tipe terumbu karang, yaitu terumbu
karang tepi (kiri), terumbu karang penghalang (tengah), dan terumbu karang
cincin (kanan).
4.
Terumbu Karang
Datar (Patch reefs)
Terumbu
karang datar atau gosong terumbu (patch reefs), atau disebut juga sebagai pulau datar (flat island).
Terumbu ini tumbuh dari bawah ke atas sampai ke permukaan, dan dalam kurun
waktu geologis membantu pembentukan pulau datar. Umumnya pulau ini akan
berkembang secara horizontal atau vertikal dengan kedalaman relatif dangkal.
Contoh: Kepulauan
Seribu (DKI Jakarta), Kepulauan Ujung Batu (Aceh).
Terumbu karang pada umumnya hidup di
pinggir pantai atau daerah yang masih terkena cahaya matahari
kurang lebih 50 m di bawah permukaan laut. Beberapa tipe terumbu karang dapat
hidup jauh di dalam laut dan tidak memerlukan cahaya, namun terumbu karang tersebut tidak
bersimbiosis dengan zooxanthella dan tidak membentuk terumbu (Castro P & Huber ME, 2005).
Ekosistem terumbu karang sebagian besar terdapat di perairan tropis, sangat
sensitif terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan
perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis
di tahun 1998, telah menyebabkan pemutihan karang (coral
bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Selama peristiwa
pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah
2-3 °C di atas suhu normal (Burke IC, Laurenroth WK,
2002).
Terumbu karang, sebagai ekosistem, memiliki keanekaragaman hayati yang
cukup tinggi. Banyak biota laut yang hidupnya bergantung pada ekosistem
tersebut. Jenis-jenis biota yang umum dijumpai di perairan terumbu karang
adalah: Chordata (sub filum tunicata),
Arthropoda, Echinodermata, Mollusca, Annelida,
Nemertea, Platyhelminthes, Cnidaria, Porifera (Yusri S, 2013).
English et al. (1994) mengkatagorikan bentuk pertumbuhan karang batu menjadi dua jenis, yaitu karang Acropora dan non-Acropora. Perbedaan Acropora dan non-Acropora terletak pada struktur skeleton. Acropora memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radial koralit, sedangkan non-Acropora hanya memiliki radial koralit.
Gambar 3. Perbedaan antara skeleton
Acropora dan skeleton non-Acropora
(Sumber : English SA, Wilkinson CR, Baker VJ (eds) (1997))
Ketegori pertama, bentuk pertumbuhan karang Acropora,
terdiri atas: (1) Acropora bercabang
(Branching Acropora), bentuk
bercabang seperti ranting pohon; (2) Acropora
meja (Tabulate Acropora), bentuk
bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja; (3) Acropora merayap (Encrusting
Acropora), biasanya terjadi pada Acropora
yang belum sempurna; (4) Acropora
Submasif (Submasive Acropora);
percabangan bentuk lempeng dan kokoh; (5) Acropora
berjari (Digitate Acropora), bentuk
percabangan rapat dengan cabang seperti jari-jari tangan.
Gambar 4. Bentuk pertumbuhan karang
Acropora
(Sumber : English SA, Wilkinson CR, Baker VJ (eds) (1997))
Kategori kedua, bentuk pertumbuhan karang non-Acropora, terdiri atas: (1)
bercabang (branching), memiliki
cabang lebih panjang daripada diameternya; (2) padat (masive), berbentuk seperti bongkahan batu dengan ukuran yang
bervariasi; (3) kerak (encrusting),
tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras, serta
berlubang-lubang kecil; (4) lembaran (foliose),
berbentuk lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukurang kecil,
dan membentuk lipatan atau melingkar; (5) jamur (mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak
tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut; (6) submasif (submasive), bentuk kokoh dengan
tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil; (7) karang api (Millepora), dikenal dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan
rasa panas seperti terbakar bila tersentuh; (8) karang biru (Heliopora), dicirikan dengan adanya
warna biru pada rangkanya.
Gambar 5. Bentuk
pertumbuhan karang non-Acropora
(Sumber : English SA, Wilkinson CR, Baker VJ (eds) (1997))
Sementara, karang lunak (soft coral) lebih dikenal Alcyonaria, yang merupakan salah satu
jenis Coelenterata (hewan berongga). Aclyonaria mempunyai peranan penting
dalam pembentukan fisik karang dengan tubuh lunak. Tubuh Alcyonaria, lembek tetapi disokong oleh sejumlah duri-duri yang
kokoh, berukuran kecil, dan tersusun sedemikian rupa sehingga lentur dan tidak
mudah putus. Duri-duri yang kokoh tersebut mengandung kalsium karbonat yang
dikenal dengan spikula.
II.
METODELOGI
2.1 Waktu dan Lokasi
Pengambilan data ekosistem terumbu
karang dilakukan pada tanggal 29
Maret 2013 di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara
Gambar 6. Pulau Pari, Kepulauan
Seribu, Jakarta.
2.2 Alat dan Bahan Terumbu karang
Pengambilan data ekosistem terumbu karang menggunakan alat-alat yang
terdiri dari alat tulis (pensil, penggaris, penghapus, pulpen, spidol), newtop
(kertas anti basah), tali rapiah, kamera underwater, label, plastik sample, botol sample, papan
jalan, papan press, dan Koran. Sedangkan
bahan yang digunakan untuk mengawetkan sampel dalam praktikum lapang adalah senyawa
pengawet alkohol 70% dan formalin.
2.3 Metodelogi Pengamatan
Pengambilan data
ekosistem terumbu karang menggunakan metode
Line Intercept Transect (LIT) yang
telah dimodifikasi. Metode LIT adalah metode yang dilakukan dengan cara
membentangkan tali rafia sejajar dengan garis pantai, dengan skala setiap 10
meter sebagai ulangan dengan jarak pengamatan kiri dan kanan transek sepanjang
3 meter. Pengamatan yang diambil mencakup jenis karang, biota asosiasi, jenis
subsrat, dan jenis penyakit pada karang.
|
|
|||||||
III.
HASIL
Berikut ini merupakan
tabel hasil pengamatan terumbu karang berdasarkan metode modifikasi LIT sejauh
30 meter. Waktu pengamatan 09.30- 11.00 WIB. Kedalaman 60-200 cm.
No
|
Jenis Karang
|
Jenis Substrat
|
Life Form
|
Biota Asosiasi
|
Fenomena
Bleaching
|
Penyakit
|
|
Menempel
|
Bergerak
|
||||||
1
|
Acropora
|
Berpasir
|
Tabulate
|
-
|
Ikan hitam
strip kuning
|
-
|
-
|
2
|
Acropora
|
Berpasir
|
Digitate
|
Cacing pohon
natal
|
Keong
|
-
|
-
|
3
|
Acropora
|
Berpasir,
Karang mati
|
Branching
|
-
|
Ikan kecil
|
-
|
White band disease
|
4
|
Acropora
|
Berpasir
|
Folios
|
-
|
Ikan strip
biru
|
-
|
-
|
5
|
Montio-pora
|
Berpasir
|
Encrusting
|
-
|
Ikan hitam
strip kuning
|
-
|
-
|
6
|
Acropora
|
Berpasir
|
Submassi-ve
|
-
|
-
|
-
|
|
7
|
Halimeda
|
Pasir
|
-
|
-
|
Ikan
|
-
|
-
|
Gambar
7. Pengambilan data dengan metode LIT sepanjang
30 meter
Menurut hasil wawancara
yang dilakukan beberapa kelompok, warga setempat menyatakan keadaan terumbu karang di pulau
Pari masih tergolong baik. Jika dibadingkan dengan hasil pengamatan, pernyataan
ini benar karena penutupan karang yang masih tinggi.
IV.
PEMBAHASAN
Gugus Pulau Pari yang terletak di Kepulauan Seribu terdiri dari 5 pulau.
Terumbu karang yang terbentuk adalah dalam bentuk formasi karang tepi (fringing reef). Secara
keseluruhan pada setiap stasiun diperoleh data bahwa terumbu karang yang paling
mendominasi di Pulau Pari adalah kelas Acropora, terdapat pula jenis kelas
Montiopora dan Halimeda dengan tipe life form Tabulate, Digitate, Foliose,
Branching, Encrusting dan Submassive. Biota asosiasi yang paling
mendominasi pada tiap stasiun adalah ikan karang dan biota menempel yang lebih
mendominasi adalah cacing pohon natal.
Pada literatur (Nontji, 2005) yang menyebutkan bahwa tipe life form yang mendominasi di Pulau
Pari adalah Foliose dan kelas yang dominan
adalah kelas non-acropora dibanding acropora. Pada hasil pengamatan sesuai dengan literatur
bahwa data yang diperoleh life form yang mendominasi yaitu Foliose.
Namun untuk kelas, data yang diperoleh bahwa kelas acropora lebih dominan di
Pulau Pari dan ini tidak sama dengan literatur yang menyebutkan bahwa di Pulau
Pari kelas non-acropora lebih dominan dibanding kelas acropora.
Terjadinya perbedaan antara literatur dan hasil
pengamatan dalam hal kelas atau jenis karang disebabkan oleh stasiun
pengambilan data yang berbeda antara literatur dengan pengamatan yang telah dilakukan, sehingga ada
kemungkinan terjadi perbedaan kelas atau jenis karang yang diperoleh. Perbedaan
stasiun pengambilan data sangat memungkinakan terjadinya perbedaan yang di
dapat, karena berbeda stasiun terkadang ada faktor-faktor tersendiri yang
mempengaruhi kondisi lingkungan tersebut seperti jenis substrat, salinitas,
pergerakan arus, pasang surut, dan kekeruhan. Sehingga dengan perbedaan
tersebut akan menyebabkan variasi kelas atau jenis karang yang ada akan
berbeda-beda, perbedaan tersebut akan mengakibatkan perbedaan kedominanan suatu
jenis karang di suatu stasiun. Sehingga wajar jika terjadi perbedaan antara
data kelas atau jenis karang yang sudah diperoleh dengan ada yang di literatur.
Organisme yang tinggal atau memiliki aktivitas di terumbu
karang, memiliki interaksi baik antara spesies satu dengan spesies lain, bahkan
dalam satu spesies (Timotius 2003). Berdasarkan pengamatan langsung, diketahui
beberapa biota asosiasi hidup pada ekosistem terumbu karang di Pulau Pari,
diantaranya terdapat biota asosiasi menempel berupa cacing pohon natal kering dan
bulu babi. Selain itu, biota asosiasi bergerak berupa ikan-ikan karang yang
menjadikan karang sebagai tempat hidup, tempat memijah dan tempat untuk
berlindung, adapun keong yang mengunakan karang sebagai tempat berlindung.
Adanya bulu
babi memberikan manfaat untuk terumbu karang itu sendiri. Menurut Timotius
(2003), kehadiran populasi jenis bulu babi penting bagi terumbu karang sebagai
penyeimbang, kesetimbangan populasi akan menjaga kesetimbangan populasi alga
dan karang. Biota lain yaitu cacing laut yang termasuk filum annelida dan hidup
pada terumbu karang seringkali membentuk cangkang kaput dan kerap kali berperan
secara biologis sebagai pengurai batu karang (Yusron, 1985). Adapun cacing laut
yang berbahaya bagi penyelam di laut, yaitu cacing laut dari suku Nereidae.
Salah satu jenis cacing ini menempati celah karang mati dan biasa dikenal
sebagai bulu kucing.
Bentuk
pertubuhan terumbu karang yang beragam seperti bercabang, pipih/merayap, meja
daun dan pejal/padat, memungkinkan adanya ruang sebagai tempat hidup dan tempat
yang nyaman untuk melakukan pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan ataupun
tempat berteduh bagi ikan karang yang mempunyai nilai ekonomis tinggi (Nggajo
2009).
Penyakit
karang didefinisikan sebagai semua bentuk gangguan terhadap kesehatan karang
yang berdampak terhadap penurunan fungsi fisiologis (Abrar, 2012). Penyakit
karang timbul akibat kombinasi dan interaksi antara karang sebagai inang, media
penularan, dan tekanan dari lingkungan. Infeksi dari virus, bakteri, dan fungi
dan protista adalah penyakit yang disebabkan faktor biotis, sedangkan gangguan
kesehatan secara abiotis disebabkan oleh tekanan lingkungan seperti suhu,
sedimen, toksit, dan radiasi ultraviolet (Raymundo et al, 2008 dalam Abrar,
2012)
White band
disease (WBD) merupakan salah satu penyakit
karang dan pertama kali ditemukan pada tahun 1977 di Teluk Tague, St. Croix,
Kepulauan Virgin, Amerika dan umumnya terjadi pada jenis karang bercabang. Hal
ini sesuai pada temuan pengamatan karang
di Pulau Pari yang memperlihatkan adanya gejala white band disease (WBD)
pada karang Acropora yang memiliki life
form branching (bercabang). Tidak ditemukan adanya kumpulan jasad renik
yang konsisten yang menyebabkan adanya pengelupasan pada jaringan dan rangka
karang yang kosong. Hilangnya jaringan tersebut, akan mengakibatkan suatu garis
pada koloni karang, oleh karena itu penyakit ini disebut white band disease (WBD)
(Green & Bruckner, 2000 dalam Siringoringo,
2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siringoringo (2007) melalui
pengamatan white band disease
WBD pada karang bercabang (Acroporacervicornis), terjadi jaringan karang
yang hilang pada pertengahan suatu cabang. Tingkat jaringan karang yang hilang
adalah sebesar 1/8 - 1/4 inci per hari, dan rangka karang yang kosong akan
ditumbuhi oleh alga berfilamen. Band rangka
karang yang berwarna putih kosong memiliki lebar yang dapat mencapai 5-10 cm.
Jaringan karang yang tersisa pada cabang tidak menunjukkan adanya pemutihan,
walaupun koloni yang terpengaruh secara keseluruhan terlihat adanya goresan
warna.
Penyebab
dari penyakit WBD masih belum banyak diketahui, namun demikian sudah ditemukan
adanya kumpulan bakteri pada jaringan karang yang mampu meluas dari satu koloni
ke koloni lainnya. Pada saat ini, para peneliti masih belum mampu
mengidentifikasi peranan dari mikroorganisme yang ada pada jaringan karang yang
terkena penyakit tersebut (Richardson dalam
Siringoringo, 2007).
DAFTAR PUSTAKA
Abrar, M ,et al.2012. Struktur
Komunitas dan Penyakit pada Karang (Scleractinia) di Perairan Lembata, Nusa
Tenggara Timur. Universitas Mataram: IlmuKelautan. Vol. 17 (2): 109-118.
Burke ,I. C., Laurenroth W.K. 2002. Ecology of the
Shortgrass Steppe: A Long-Term Perspective.LTER.Page.56-57.
Castro ,P
,Huber ME. 2005. Marine Biology Ed ke-5. New York: Mc Graw Hill
International.Page 119-125.
Dahuri,
R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta :
PT Gramedia Pustaka Utama.
English,
S., et al. 1994. Survey Manual for
Tropical Marine Resourch. Australian Institute Marine Science. Townsvile.
Australia
Go
Blue. 2008. Tentang Terumbu Karang.[terhubung berkala]
http://www.goblue.or.id/tentang -terumbu-karang. diakses
pada 10 April 2013
National
Geographic. 2012. Bangun Kesadaran Konservasi Terumbu Karangdengan
Edukasi.[terhubung berkala] http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/05/bangun -kesadartahuan-konservasi-terumbu-karang-dengan-edukasi.
diakses pada 24 September 2012
Nggajo, Raimundus. 2009. Keterkaitan Sumberdaya Ikan
Ekor Kuning (Caesio cuning) Dengan
Karakteristik Habitat Pada Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Seribu. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Nontji, Anugerah. 2005. Laut Nusantara. Jakarta : Djambatan.
Rittik
Travel. 2012. Pulau Pari. [terhubung berkala] http://rittiktravel.com/pulau-pari.html.
diakses pada 10 April 2013
Siringoringo, RM. 2007. Pemutihan Karang dan Beberapa Penyakit Karang. Oseana, Vol. 32 (4):
29- 37.
Suharsono. 1998. Kesadaran
masyarakat tentang terumbu karang (kerusakan karang di Indonesia). P3O-LIPI, Indonesia: 77.
Thohohiron,
D. 2012. Kerusakan Terumbu Karang Indonseia. [terhubung
berkala]. http://id.shvoong.com/exact-sciences/2247133-kerusakan-terumbu-karang -indonesia/ diakses pada 10 April
2013
Timotius, Silvianita. 2003. Biologi Terumbu Karang.
Makalah Training Course. Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Terangi).
Yusri
dan Timotius. 2009. Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka Panjang
Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2003-2007). Jakarta : Terangi.
Yusri,
Safran. 2013. Biota Terumbu Karang. [terhubung berkala]
http://www.terangi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=133%3Abiota-terumbu-karang&catid=72%3Asains&Itemid=52&lang=id
diakses pada Kamis, 18 April 2013
Yusron, Eddy. 1985. Beberapa Catatan Mengenai Cacing
Laut (Polychaeta). Oseana, Vol. 10
(4): 122-127.
LAMPIRAN
Sumber:
Foto pribadi
Gambar1.
Lifeform karang folios Gambar1. Lifeform karang folios
Gambar1.
Lifeform karang folios Gambar1. Lifeform karang encrushing
Gambar1.
Lifeform karang digitate Gambar1.
karang patah
Gambar1.
Karang yang patah Gambar1.
Terumbu karang
Gambar1.
Ruble karang Gambar1. Lifeform karang
Gambar1.
Lifeform karang bercabang Gambar1. Lifeform karang Encrusting
Gambar1. Foto
kelompok 3 Fieldtrip Biologi Laut
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus